Jumat, 30 Juli 2010

sekilas tentang donor organ

TRANPLANTASI ORGAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM

I. Latar Belakang
Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia, lebih spesifik jika dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHPidana. Misalnya mengenai transplantasi komersil, jika dalam KUHPidana termasuk kejahatan terhadap tubuh manusia, namun dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun 2009 dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dimasukkan dalam pasal tersendiri yang lebih jelas, sehingga akan terlihat dengan jelas batasan pertanggungjawaban pidana apabila dokter melakukan malpraktek.
Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan, ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu:
1. Ada tindakan faktor kelalaian;
2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis;
3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, disinggung mengenai keberadaan standar profesi medis sebagai salah satu faktor penting untuk dapat menentukan ada atau tidak adanya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam Pasal 21 Ayat (2) PP nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan bahwa standar profesi tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Standar profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah ini adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.
Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara klinis meliputi:
1. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada pertalian darah).
2. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis.
3. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan melakukan pemberian obat dan kontrol.
Tahapan klinis yang diuraikan diatas berlaku untuk donor hidup maupun donor jenazah (cadaver). Untuk dapat dilakukan eksplantasi organ tubuh baik terhadap donor hidup maupun donor jenazah diperlukan adanya persetujuan terlebih dahulu, namun hingga saat ini persetujuan yang telah diatur hanya mengenai persetujuan dari donor jenazah yang sudah dituangkan dalam PP Nomor 18 Tahun 1981. Indonesia sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam PP tersebut dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem berdasarkan izin.
Hal ini berarti tidak boleh dilakukan suatu pegambilan organ tubuh tanpa adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya atau adanya persetujuan dari keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor tidak pernah membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad yang ditinggalkan.
Jika selama hidupnya donor belum pernah memberikan persetujuan untuk dapat dilakukannya transplantasi terhadap salah satu organ tubuhnya maka, hak untuk memberikan persetujuan eksplantasi ada pada ahli warisnya (Pasal 10 jo Pasal 2 PP nomor 18 Tahun 1981).
Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya medis transplantasi organ tubuh pada khususnya, dapat berupa karena unsur kesengajaan maupun unsur kelalaian. Dalam tanggung jawab pidana haruslah dibuktikan adanya kesalahan professional yang dapat dibuktikan di sidang pengadilan melalui pendapat para ahli. Adapun kesalahan professional tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah:
1. Kelalaian (negligence);
2. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari tindakan kesewenangan dokter yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan adanya gangguan terhadap diri pasien. Selain itu, adanya persetujuan juga dapat meniadakan sifat melanggar hukum.
Berkenaan dengan hal persetujuan pasien, dalam hukum pidana persetujuan bukan merupakan dasar bagi adanya pengecualian terjadinya suatu peristiwa pidana, namun jika ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 89 KUHPidana yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Jika seorang dokter yang melakukan pembedahan (misalnya) terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pihak pasien, maka dokter tersebut dapat dituduh telah melakukan kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHPidana tersebut diatas. Seperti yang dikatakan oleh Simons, bahwa persetujuan untuk mengadakan operasi dengan tujuan pemulihan kesehatan akan meniadakan sifat pidana dari perbuatan tersebut.
Transplantasi organ tubuh sebagai upaya pelayanan kesehatan, yang dapat mengintervensi kehidupan seseorang baik secara jasmani maupun rohani, tidak hanya melibatkan pelayanan kesehatan, penerima pelayanan kesehatan, tetapi juga donor, baik itu donor hidup maupun donor mati.
Di dalam bidang hukum kesehatan sendiri belum jelas apa yang menjadi tolak ukur telah terjadinya tindakan malpraktek pada upaya medis transplantasi organ tubuh. Belum adanya satu pengertian yuridis yang menyatakan secara tegas mengenai tindakan malpraktek, menimbulkan heterogenisasi pengertian tentang apa itu yang dimaksud dengan malpraktek. Selama ini masyarakat yang menggugat dokter ke pengadilan, karena merasa tindakan dokter itu merugikan atau mencelakakan pasiennya sekedar menggunakan pasal – pasal KUHPidana.
Dalam tanggung jawab pidana perlu dibuktikan adanya kesalahan professional. Kesalahan professional di bidang medis (medical malpractice) menurut Veronica Komalawati adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis sesuai dengan standar profesi medis, atau tidak melakukan tindakan medis menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan pengalaman rata – rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi dimana tindakan medis itu dilakukan.
Mengenai kesalahan atau kealpaan (culpa) diatur dalam Pasal 359 KUHPidana yang menyebutkan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Berdasarkan ketentuan dari pasal diatas, bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan itu besifat melawan hukum;
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Adanya unsur kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut ketentuan dalam KUHPidana, kesalahan merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana agar dapat dipidananya seseorang. Tegasnya, unsur kesalahan merupakan unsur mutlak untuk penjatuhan pidana. Kesalahan dianggap ada, bilamana dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan atau menimbulkan keadaan – keadaan yang dilarang oleh hukum pidana dan yang dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, disamping harus memenuhi unsur – unsur suatu tindak pidana yang bersangkutan, perbuatan yang dilakukan harus bersifat melawan hukum, dan pada diri pelaku terdapat unsur kesalahan.
Selain itu untuk dapat dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur hukum formal dan hukum materiil. Menurut ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu telah memenuhi semua unsur – unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil yaitu apakah perbuatan tersebut bersifat melawan hukum secara sungguh – sungguh yang dilakukan dengan bertanggung jawab ataupun tidak.
Di dalam persidangan, Majelis hakim bukan hanya mempertimbangkan terpenuhinya unsur kesalahan dan sifat melawan hukum formal dan materiil, tetapi juga memperhatikan apakah terdapat suatu alasan pembenar dan pemaaf. Dengan demikian, apabila ada unsur – unsur tersebut yang tidak terpenuhi, dimana seorang dokter telah melakukan perawatan sesuai dengan pengetahuannya dan sesuai standar profesi medis serta tidak dapat dibuktikan telah terjadi kesalahan, kealpaan, kelalaian ataupun kesengajaan, maka hakim dapat memberikan putusan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

bantuan dokter di TKP

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita seringkali membaca berita mengenai peristiwa kejahatan, misalnya kasus penganiayaan, pembunuhan, dan kematian mendadak. Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Pada tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali apakah suatu peristiwa (misalnya ditemukannya mayat di pantai atau di suatu gudang) merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli. Hal ini sesuai dengan
Pasal 7 ayat 1 (h) KUHAP:
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

Pasal 120 ayat 1 KUHAP:
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.




Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat 1 KUHAP:
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

Bantuan dokter tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah di rumah sakit dan dapat pula berupa pemeriksaan jenazah di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Karena begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan, maka penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan tindakan oleh penyidik serta dokter ahli.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia baik hidup atau mati ataupun bagian yang diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah prosedur permintaan dokter untuk datang di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
2. Bagaimanakah peranan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
3. Tujuan bantuan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penjelasan Umum
Bantuan dokter dalam menangani korban di Tempat Kejadian Perkara (TKP) memang sangat dibutuhkan. Bantuan dokter tersebut tidak hanya ditujukan untuk korban mati saja tetapi korban hidup.

B. Pengertian TKP
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan.
Meskipun kelak terbukti bahwa di tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu tindak pidana, tempat tersebut tetap disebut sebagai TKP. Disini hanya akan dibicarakan TKP yang berhubungan dengan manusia sebagai korban, seperti kasus penganiayaan, pembunuhan dan kasus kematian mendadak (dengan kecurigaan).






Gb.1. Tim Labfor di TKP Peledakan Bom Hotel JW Mariot
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvoHl6JbV5DC7-mykNyA8NMi4OOiibNV3p6bYPkTKFnPK-n4-o0S6tuYH1znZ1MFEFj5yfX3LicUmz4kR2YDeaytN7ceUzuTYE5hQNWHubw4_4m-i9hetkelpARWNaPU4dWR77a0YUiZe4/s400/grab.php.jpg
C. Bantuan Dokter sebagai Ahli
Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta/memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut.
Ketentuan yang mengatur tata laksana bantuan dokter sebagai ahli dapat dilihat pada pasal-pasal dari KUHAP tentang ahli serta peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983. Pasal-pasal tentang saksi dari KUHAP juga dapat dijadikan acuan sebab berdasarkan Pasal 179 ayat (2), semua ketentuan bagi saksi berlaku pula bagi ahli dengan syarat mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Tata laksana tersebut meliputi :
1. waktu pengajuan permintaan bantuan
2. pejabat yang berhak mengajukan
3. cara mengajukan permintaan
4. dokter yang boleh dimintai bantuan serta
5. cara dokter menyampaikan keterangannya.
Dalam menemukan kebenaran materiil maka dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli, dapat diminta bantuannya untuk memberikan keterangannya. Pada tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali apakah suatu peristiwa (misalnya ditemukannya mayat di pantai atau disuatu gudang) merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli. Bantuan tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah di rumah sakit dan dapat pula berupa pemeriksaan jenazah di tempat kejadian perkara (TKP). Tujuan utamanya adalah untuk menemukan fakta-fakta medis yang dapat digunakan untuk menentukan peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan. Pada hakekatnya bantuan tersebut berupa pemberian keterangan tentang :
1. Sesuatu obyek yang diajukan kepadanya untuk diperiksa
2. Sesuatu masalah yang bersifat hipotetik (hypothetical question).
Dalam hal penyidik atau hakim yang menangani perkara pidana menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis maka ia dapat meminta dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli untuk menjelaskannya, sebab dokter memiliki ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjawabnya.




Membantu proses peradilan pada kasus-kasus pidana oleh dokter sebetulnya tidak kalah pentingnya dengan tugas-tugas kemanusiaan yang lain. Oleh sebab itulah pembuat undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merasa perlu menetapkan berbagai macam kewajiban bagi setiap dokter yang diminta bantuannya sebagai ahli. Kewajiban tersebut terdiri atas :
1. Kewajiban melakukan pemeriksaan yang diminta
2. Kewajiban memberikan keterangan yang diperlukan
3. Kewajiban melaksanakan prosedur hukum yang diperlukan
Kewajiban melakukan pemeriksaan serta kewajiban memberikan keterangan dapat dilihat pada Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut:
1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki kesaksian khusus
2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik bahwa ia akan member keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Selain itu dapat juga dilihat pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang bunyinya:
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter yang ahli lainnya wajib memberikan keterangannya.

Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang mengikat dokter, baik pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan maupun tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, kecuali ada alasan yang syah menurut undang-undang bahwa yang bersangkutan boleh mengundurkan diri untuk tidak melaksanakannya. Alasan yang syah itu adalah alasan yang menyebabkan dokter tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri, yaitu:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Sebetulnya alasan yang disebutkan di atas itu diperuntukkan bagi saksi, namun karena ada pasal dalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan untuk saksi berlaku pula bagi ahli, maka alasan-alasan tersebut berlaku pula bagi dokter untuk mengundurkan diri dari kewajiban memberikan keterangan. Pasal tersebut adalah Pasal 179 ayat (2) KUHAP yang bunyinya:
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Kendati demikian, berdasarkan Pasal 169 KUHAP mereka diperbolehkan untuk tetap memberikan keterangan di bawah sumpah/janji dengan syarat:
a) Mereka sendiri menghendakinya
b) Penuntut umum setuju
c) Terdakwa juga menyetujuinya

Tanpa persetujuan penuntut umum dan terdakwa, dokter hanya boleh memberikan keterangan tanpa sumpah/janji. Keterangan seperti ini tidak dapat berfungsi sebagai alat bukti atau dengan kata lain, tidak dapat dijadikan unsur pembentuk keyakinan hakim.

D. Prosedur permintaan dokter di TKP
Pada proses peradilan pidana, tugas yang paling utama dari penegak hukum adalah menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Tugas yang demikian berat ini tidaklah mudah untuk dilaksanakan, sebab penyidik dan penuntut umum ataupun hakim tidak melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses terjadinya serta siapa yang menjadi pelakunya. Lebih tidak mudah lagi jika korban tindak pidana meninggal dunia atau saksi yang seharusnya dapat membantu tidak ada sama sekali. Kalaupun korban masih hidup dan ada saksi, namun keterangan mereka sering tidak sebagaimana yang diharapkan. Korban sering mendramatisasi keterangannya agar pelakunya dihukum berat dan saksi juga sering berkata bohong demi tujuan tertentu. Kadang keterangan mereka saling bertentangan satu sama lain.
Sungguh pun demikian, masih beruntung bagi penegak hukum sebab hampir setiap tindak pidana meninggalkan barang bukti (trace evidence), yang apabila dianalisa secara ilmiah tidak mustahil dapat membuat terang perkara pidana tersebut. Hanya sayangnya, sebagai penegak hukum mereka tidak dibekali segala macam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk menganalisa secara ilmiah semua jenis barang bukti yang berhasil ditemukan. Oleh sebab itulah diperlukan bantuan para ahli. Dalam hal barang bukti itu berupa mayat, orang hidup , bagian tubuh manusia atau sesuatu yang berasal dari tubuh manusia maka ahli yang tepat adalah dokter. Alasannya karena disamping dapat melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik, dokter juga menguasai ilmu anatomi, fisiologi, biologi, biokimiawi, patologi, psikiatri.
Bantuan dokter dalam melayani pemeriksaan korban diantaranya untuk pembuatan visum et repertum (hasil pemeriksaan di TKP disebut dengan visum et repertum TKP) , sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, penentuan identitas jenazah yang sudah tidak utuh lagi (misalnya hanya tinggal tulang belulang), penentuan telah berapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban meninggal, penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan kematian yang tidak wajar, tentang perkosaan, pemeriksaan korban keracunan dan lain-lain. Bantuan yang diminta dapat berupa pemeriksaan di TKP atau di Rumah Sakit. Dokter tersebut dalam pemeriksaan harus berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Pada dasarnya pelayanan visum et repertum, dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah meninggal. Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah (Harus dibuat berdasarkan hasil autopsi lengkap). yaitu visum yang dibuat oleh dokter atas permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal karena kekerasan, luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian yang sebabnya mencurigakan dan lain-lain.
Jadi, bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia (mati), telah terjadi, maka pihak penyidik dapat minta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut ( dasar hukum : Pasal 120 KUHAP ; Pasal 133 KUHAP). Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara, maka Pasal 224 KUHP, dapat dikenakan padanya. Sebelum dokter datang ke Tempat kejadian perkara, harus diingat beberapa hal, diantaranya siapa yang meminta datang ke TKP (otoritas), bagaimana permintaan tersebut sampai ke tangan dokter, dimana TKP, serta saat permintaan tersebut diajukan. Meminta informasi secara global tentang kasusnya,dengan demikian dokter dapat membuat persiapan seperlunya. Dan perlu diingat bahwa dokter dijemput dan diantar kembali oleh penyidik.


Jadi apa yang dimaksudkan diatas, dokter bila menerima permintaan harus mencatat :
1. Tanggal dan jam dokter menerima permintaan bantuan
2. Cara permintaan bantuan tersebut ( telpon atau lisan)
3. Nama penyidik yang minta bantuan
4. Jam saat dokter tiba di TKP
5. Alamat TKP dan macam tempatnya (misal : sawah, gudang, rumah dsb.)
6. Hasil pemeriksaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan setibanya di TKP
1. Tanggal dan waktu kedatangan;
2. Nama orang di tkp pada saat kedatangan;
3. Kondisi cuaca;
4. Kondisi pencahayaan pada malam hari
5. Apa yang terjadi - insiden;
6. Apa yang telah terjadi – aktivitas sejak insiden;
7. Petugas yang bertanggung jawab atas kasus;
8. Adegan penjagaan keamanan tkp;
9. Bantuan yang diberikan di lokasi dan sumber daya lain yang sudah diminta.
Pejabat yang berhak mengajukan Permintaan diantaranya adalah penyidik, penyidik pembantu, hakim. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan :
1. Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelangaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Terlihat penyelidikan merupakan tindakan atau tahap permulaan dari proses selanjutnya, yaitu penyidikan. Meskipun penyelidikan merupakan proses yang berdiri sendiri, penyelidikan tidak bisa dipisahkan dari proses penyidikan.

2. Penyidikan
Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan adalah tahapan penyidikan. Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP menjelaskan, penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.Terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan suatu tindak pidana, dapat diketahui oleh penyidik dengan berbagai cara, mengetahui sendiri, atau menerima laporan atau pengaduan dari seseorang.
Adapun yang termasuk dalam kategori penyidik menurut Pasal 6 ayat (1) KUHAP jo PP27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan II/B untuk penyidik dan II/A untuk penyidik pembantu. Bila di suatu Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikatagorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya (PP 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).

E. Peranan Dokter di TKP
Kehadiran dokter di TKP sangat diperlukan oleh penyidik. Peranan dokter di TKP adalah membantu penyidik dalam mengungkapkan kasus dari kedokteran forensik. Pada dasarnya semua dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah lebih baik bila dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.
Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP harus mengikuti kententuan yang berlaku umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar tidak mengubah keadaan TKP. Semua benda bukti di TKP yang ditemukan agar dikirim ke laboratorium setelah sebelumnya diamankan sesuai prosedur.
Selanjutnya dokter dapat memberikan pendapatnya dan mendiskusikan dengan penyidik dengan memperkirakan terjadinya peristiwa dan merencanakan langkah penyidikan lebih lanjut.
Bila perlu dokter dapat melakukan anamnesa dengan saksi-saksi untuk mendapatkan gambaran riwayat medis korban.
Adapun tindakan yang dapat dikerjakan dokter adalah:
1. Menentukan apakah korban masih hidup atau telah tewas, bila masih hidup upaya terutama ditujukan untuk menolong jiwanya. Hal yng berkaitan dengan kejahatan dapat ditunda untuk sementara.
2. Bila korban telah tewas tentukan perkiraan saat kematian, dari penurunan suhu, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan post mortal lainnya; perkiraan saat kematian berkaitan dengan alibi daripada tersangka.
3. Menentukan identitas atau jati diri korban baik secara visual, pakaian, perhiasan, dokumen, dokumen medis dan dari gigi, pemeriksaan serologi, sidik jari. Jati diri korban dibutuhkan untuk memulai penyidikan, oleh karena biasanya ada korelasi antara korban dengan pelaku. Pelaku umumnya telah mengetahui siapa korbannya.
4. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan, jenis luka dan jenis kekerasan dapat memberikan informasi perihal alat atau senjata yang dipakai serta perkiraaan proses terjadinya kejahatan tersebut dimana berguna dalam interogasi dan rekonstruksi. Dengan diketahui jenis senjata, pihak penyidik dapat melakukan pencarian secara lebih terarah.
5. Membuat sketsa keadaan di TKP secara sederhana dan dapat memberikan gambaran posisi korban dikaitkan dengan situasi yang terdapat di TKP.
6. Mencari, mengumpulkan, dan menyelamatkan barang-barang bukti (trace evidence) yang ada kaitannnya dengan korban, bagi kepentingan pemeriksaan selanjutnya. Hal ini juga penting, sebab semakin banyak barang bukti ditemukan, termasuk barang bukti medik, akan semakin mempermudah penegak hukum membuat terang perkara pidana. Barang bukti medik tersebut harus diselamatkan dari kerusakan dan dokter memang memiliki kemampuan untuk itu.

Gb.2. Identifikasi Teroris Wonosobo 2006
Sumber : Arsip Kuliah Forensik dr.S.Hastry P.,SpF


F. Tujuan Bantuan Dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Pemeriksaan dokter di TKP atas diri korban, bertujuan untuk mendapatkan data yang akurat dalam waktu singkat dan melakukan beberapa tes lapangan yang berguna bagi pihak penyidik agar ia dapat melakukan strategi serta langkah yang tepat untuk dapat membuat jelas dan terang suatu perkara pidana yang menyangkut tubuh manusia.
Bantuan dokter di TKP adalah melakukan pemeriksaan yaitu berupa pemeriksaan korban, dan pengolahan TKP, yang meliputi pengamanan TKP, pembuatan sketsa dan pemotretan, dan pengumpulan barang bukti.

G. Pembahasan Kasus
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
Masalah : Bantuan apa yang dapat diberikan oleh dokter di TKP?
Penyidik dalam hal ini polisi dan dokter puslabfor tentunya, segera bertindak cepat, dengan cara mengumpulkan korban dan barang bukti yang ada. Setelah mendapatkan data dari jumlah pengunjung di kedua kafe pada saat kejadian, dokter dibantu polisi memulai suatu proses untuk menyatukan potongan-potongan tubuh, sekaligus juga mengidentifikasi masing-masing korban, nama hingga kewarganegaraan. Pemeriksaan yang dilakukan dokter puslabfor antara lain adalah :
Pemeriksaan Tulang
Pemeriksaan tulang berguna dalam proses identifikasi, antara lain:
a. Menentukan jenis kelamin
b. Menentukan umur
c. Menentukan tinggi badan
d. Pemeriksaan Gigi
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah merupakan pemeriksaan penting dari pemeriksaan biasa yang dilakukan pada kasus forensik. Kadang kala sampel merupakan sampel segar ataupun dengan tambahan pengawet terutama pada kasus kriminal. Lebih sering lagi sample di kirim ke laboratorium berupa darah kering atau bercak kecolatan yang terdapat pada senjata, pakaian atau objek lainnya. Pemeriksaan yang dilakukan untuk membedakan:
1. Apakah bercak tersebut darah.
2. Jika darah, apakah darah tersebut merupakan darah hewan atau manusia.
3. Jika darah manusia, apakah golongan darah manusia tersebut. Metode yang dilakukan pada bercak tersebut dengan inspeksi, pemeriksaan mikroskopis, analisis kimia, spektroskopis investigasi dan tes serologi.


Gb.12. Bom Bali I
Sumber : http://www.geocities.com/arabracismandislamicjihad/

aspek midecolegal rahasia medik

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam bidang medis/kedokteran, segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien, sebagaimana disebutkan dalam permenkes No. 749a/1989 pasal 10 ayat 2 yaitu isi ekam medis adalah milik pasien.
UU No. 29 tahun 2004 pasal 48 ayat 1 menyatakan setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Di Indonesia, kerahasiaan pasien merupakan isu yang terus berkembang dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dulu keharusan menjaga rahasia itu mutlak, namun berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang berbunyi rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka pengakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. Disamping dalam UU praktik kedokteran rasihasia kedokteran juga diatur dalam Permenkes No. 269/Menkes/per/III/2008 menyatakan kerahasiaan pasien dapat dibuka kepada pihak tertentu seperti diberikan kepada aparat penegak hukum berdasarkan perintah pengadilan atau instansi/institusi lain guna kepentingan penelitian, pendidikan, atau audit medis. Serta dalam KODEKI pasal 12 disebutkan setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Diluar hal diatas kerahasian pasien tidak dapat diungkapkan. Bahkan para dokter dan pihak rumah sakit diharuskan melakukan daya upaya untuk menjaga kerahasian pasien semaksimal mungkin. Contoh kasus ”Seorang teman sejawat saya pernah menangani seorang pasien yang katakanlah bernama Dodi. Saat itu Dodi datang dengan keluhan sering merasa cemas, waswas, dan takut. Setelah melakukan pemeriksaan yang cermat, teman saya berkesimpulan bahwa pasien menderita gejala gangguan kejiwaan sehingga dia meresepkan obat kejiwaan. Beberapa minggu kemudian, didatangi seorang yang mengaku berasal dari bagian administrasi kantor Dodi. Orang yang mengaku bertugas administrasi pengobatan karyawan ini menanyakan jenis obat yang diberikan kepada Dodi. Karena mengira orang ini adalah perwakilan resmi kantor, teman saya menyampaikan jenis obat kejiwaan yang diberikannya kepada pasien tersebut. Beberapa bulan kemudian, temen sejawat saya dituntut di depan pengadilan oleh si Dodi. Dia menuntut dengan alasan telah membocorkan rahasia jenis obat kepada perusahaannya tanpa izin darinya. Karena hal tersebut, perusahaan jadi tahu bahwa dia menderita gangguan kejiwaan dan akhirnya diberhantikan dari perusahaan. Saat itu Dodi menuntun ganti rugi jutaan rupiah. Hakim memutuskan bahwa temen saya melakukan kesalahan dan harus membayar ganti rugi kepada pasien itu”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas maka masalah yang dapat diambil adalah:
1. Mengapa rahasia medik tidak dapat dibuka kepada orang lain tanpa sepengetahuan pasien?
2. Bangaimanakah jika seseorang menderita HIV positif yang ingin mendonor darahnya?







BAB II
PEMBAHASAN


A. Hakikat Rahasia
Rahasia adalah suatu hal yang tidak boleh atau tidak dikehendaki untuk diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan atau tidak berhak mengetahui hal itu.1 Masalah larangan membuka rahasia pasian oleh dokter merupakan salah satu masalah klasik dalam bidang kedokteran, sedemikian klasiknya sehingga dalam banyak naskah kedokteran/kesehatan kita dapati ketentuan yang pada prinsipnya melarang dokter untuk membuka rahasia pasiennya sudah ditentukan antara lain:
1. Sumpah Hippocrates
“… Apapun, dalam hubungan dalam hubungan dengan jasa professional saya atau tidak dalam hubungan dengan jasa tersebut, yang saya lihat atau dengar, tentang kehidupan manusia, yang tidak harus dibuka ke pihak luar, saya tidak akan berkhianat, sebagai pengakuan bahwa semua itu harus dijaga kerahasiannya.”
2. Deklarasi Genewa
“… Saya akan menjaga rahasia yang diberikan kepada saya, bahkan setelah pasien meninggal dunia.”
3. Sumpah Dokter Indonesia
“Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.”
Kewajiban dokter ialah menjaga dan menghormati rahasia itu terhadap orang atau pihak yang tidak berkepentingan. Jika kita kemballi ke kasus Medan tadi, maka yang harus dijawab pertama kali adalah: apakah orang tua bayi itu adalah pihak yang berkepentingan atau berhak mengetahui proses kematian anaknya? Setiap orang waras tentu tahu bahwa orang tua bayi tersebut berhak tahu mengapa bayinya sampai mati. Kejadian dokter menolak menjelaskan kematian bayi itu denga dalih “rahasia kedokteran” tersebut, bukan lagi erosi melainkan sudah menjadi distorsi hakikat rhasia kedokteran.
Jadi, sebenarnya dokter justru harus menyampaikan rahasia itu kepada orang yang berhak atau berkepentingan misalkan orang tua, wali, atau yang menbiayai pengobatan (perusahaan). Walaupun demikian jika diduga pengungkapan rahasia medik akan melemahkan pasien, maka boleh menahan rahasia itu. Dalam kepustakaan Barat dikenal adanya next of kin, yakni urut-urutan siapa yang paling berhak seseorang dan dapat dibelakukan dalam hal diatas. Dalam budaya Timur, next of kin mungkin lebih rumit. Mengingat rumusan keluarga atau pertalian darah yang jauh berbeda dengan budaya Barat.
Temuan-temuan dalam rekam medik adalah langsung milik pasien dan pasien berhak sepenuhnya untuk mengetahui isi rekam medik tersebut. Jadi, hakikatnya hanya pasien yang berhak atas rekam medik itu, terkecuali jika pasien dalam keadaan kritis, perlu penanganan yang membutuhkan dana, baru hal tersebut dapat di beritahukan kepada pihak keluarga atau yang menjamin biaya pengobatan atau pasien korban pembunuhan yang perlu saksi dari ahli untuk menentukan visum et revertum korban.
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan konfidensial, percaya-mempercayai, dan hormat-menghormati. Oleh karena itu, dokter berkewajiban memelihara suasana yang ideal tersebut, antara lain dengan memegang teguh rahasia jabatan dan pekerjaannya sebagai dokter.

B. Ruang Lingkup Rahasia Kedokteran
Dalam hubungan dengan perlindungan kerahasiaan antara dokter dan pasiennya, perlindungan hukum yang diberikan bukan hanya terhadap kerahasiaan dalam hubungan langsung, tetapi lebih luas sesuai doktrin hukum tentang “perlindungan hasil kerja”. Yang dimaksud oleh doktrin perlindungan hasil kerja adalah perlindungan terhadap kerahasiaan medik bukan hanya rahasia yang terbit dari hubungan langsung (konsultasi), melainkan juga perlindungan kerahasiaan dari informasi yang didapatkan dari sumber lain yang didapatkan dari pasien yang bersangkutan.
Tentu saja tidak semua informasi atas pengakuan, dokumen, fakta, data atau yang diperoleh dari hasil pemeriksaan pasien merupakan kerahasiaan yang dilindingi hukum. Hanya kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia yang dilindungi, yakni rahasia-rahasia yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Rahasia tersebut merupakan informasi substansial dan penting bagi pasiennya atau bagi pengobatannya.
2. Rahasia itu sebelumnya belum pernah terbuka untuk umum. Apabila rahasia tersebut telah terbuka untuk umum, tapi belum meluas atau jika digunakan sebagai alat bukti maka rahasia tersebut tidak boleh dibocorkan kepada orang lain.
3. Rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia untuk publik.
4. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan malu bagi pasien, dokter, atau pihak-pihak lain.
5. Rahasia yang jika dibuka akan merugikan pasiennya.
6. Rahasia yang jika dibuka akan mempersulit pengobatan terhadap pasien.
7. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan kemungkinan pasien tidak lagi memberikan informasi selanjutnya pada dokter. Hal ini akan mempersulit dalam proses pengobatan.
8. Bagi pasien, informasi tersebut sangat penting dan atau sensitif.
9. Jika dibuka rahasia tersebut, akan menimbulkan kemarahan/gejolak/atau sikap masyarakat yang merugikan kepentingan pasien dan atau mepersulit pengobatan.
10. Pasien tidak pernah mengizinkan (no waiver) secara tegas atau tersirat untuk dibuka rahasia itu.
Karena itu, bukan merupaka kerahasiaan dan boleh dibuka oleh dokter terhadap informasi yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas, asal saja dilakukan denga penuh kewaspadaan, iktikad baik, dan jika tidak dilarang oleh pasien. Sikap dokter yang paling baik dalam hal ini adalah jika ragu, jangan (if doubt, dont).
Disamping itu, dalam hubungan dengan pihak ketiga yang mendengar informasi dari pasien, untuk dapat diputuskan rahasia atau tidaknya informasi tersebut, perlu terlebih dahulu dilakukan pengujian-pengujian tertentu. Pengujian tersebut antara lain:
1. Metode pengujian subjektif
Menurut metode ini faktor utama untuk menentukan apakah suatu informasi merupakan rahasia atau tidak dengan melihat kepada “maksud” dari pasiennya. Jika pasien menginginkan informasi tersebut dirahasiakan maka informasi itu menjadi rahasia.
2. Metode pengujian objektif
Dalam metode ini faktor utama untuk menentukan apakah informasi tersebut adalah rahasia dengan melihat informasi itu sendiri. Jika sifat informasi itu adalah rahasia maka itu menjadi rahasia.
3. Metode pengujian menurut keperluan
Berdasarkan metode pengujian menurut keperluan ini, maka jika pihak ketiga mendengarkan informasi rahasia dan keberadaan pihak ketiga itu memang diperlukan ditempat itu maka pihak ketiga juga wajib menyimpan informasi tersebut.
Kemudian, meskipun rahasia tersebut termasuk kategori yang mestinya dilindungi, rahasia itu dapat pula dibuka jika:
1. Diperbolehkan oleh pasiennya.
2. Kepentingan umum menghendakinya
3. Rahasia tersebut dapat menjadi alat bukti untuk kasus pidana, meskipun tidak semua rahasia yang dapat dibuka untuk menjadi alat bukti.
4. Penyakit tersebut dibuka untuk mencegah akan dilakukannya penyakit berat (menular) oleh pasien atau orang lain. Meskipun dalam hal ini, lebih bijaksana jika dokter itu meminta berhenti (duty to withdraw) sebagai dokter daripada membuka rahasia. Atau melaksanakan kewajiban mengingat (duty to warn) oleh dokter kepada calon korban jika telah ada ancaman yang nyata (firm intention).
5. Undang-undang lain memperbolehkan dibukannya informasi tersebut seperti dalam UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 48 ayat 2.

Yang wajib menyimpan rahasia kedokteran adalah:
1. Pasal 2 UU Tentang Tenaga Kesehatan yaitu Tenaga Kesehatan Sarjana, seperti : dokter,dokter gigi, apoteker dan sarjana lain dibidang kesehatan dan Tenaga Kesehatan Sarjana Muda, Menengah dan Rendah, seperti : asisiten apoteker, bidan, perawat, nutrisionis , dan lain lain
2. Mahasiswa Kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan , pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

C. Dilematis Rahasia Kedokteran
Kunjungan pasien ke dokter adalah kunjungan yang bersifat sangat pribadi. Saat berkunjung, pasien ingin menceritakan tentang penyakit serta keluhannya. Saat menangani pasien, dokter membutuhkan informasi lain seperti riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga, anak-anaknya, pekerjaannya, hubungan istri atau suami, dan sebagainya. Ketika memeriksa pasien, dokter akan menemukan lebih banyak lagi hal yang bersifat sangat pribadi. Jika dokter meminta pasien melakukan pemeriksaan lainnya, akan lebih banyak lagi terkuak hal-hal pribadi pasien tersebut. Misalnya, dari pemeriksaan laboratorium dokter dapat berkesimpulan bahwa pasien tiu adalah pecandu minuman keras, mengalami infeksi saluran kemih, mengidap HIV/AIDS dan lainnya.
Bagi seorang dokter/tenaga medis, menjaga menjaga rahasia pasien sering menjadi dilema, terutama jika bertentangan dengan kepentingan pihak lain atau bahkan kepentingan umum. Karena dalam ilmu hukum diajarkan bahwa menjaga rahasia pasien oleh dokter tidaklah mutlak. Artinya, dalam hal-hal tertentu rahasia medik boleh bahkan wajib dibuka kepada pihak lain. Jika misalnya seorang pasien yang menderita HIV/AIDS, kemudian pasien tersebut ingin mendonorkan darahnya kepada pihak lain tersebut terancam terkena penyakit yang mematikan itu, secara etika dan hukum dokter wajib memberi tahu bahwa pendonor tersebut menderita AIDS. Hal ini, rahasia pasien tersebut bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga kepentingan umum harus lebih didahulukan. Di samping untuk kepentingan umum, kekecualian lain terhadap kewajiban menjaga rahasia tersebut mestinya berlaku dalam hal-hal antara lain:
1. jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasinya
2. jika dilakukan komunikasi dengan dokter yang lain dari pasien itu
3. jika informasi tersebut tidak tergolongkan rahasia

D. Kedudukan Rahasia Kedokteran Dalam Filsafat Hukum
1. Kedudukan rahasia kedokteran dalam logika hukum
Tentang merahasiakan informasi dari pasiem bahkan setelah pasien meninggal dunia ini didapati ketentuan dengan tegas dalam pasal 51 huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Disamping dalam UU tersebut dalam KODEKI pasal 13 juga secara jelas tertulis bahwa kewajiban seorang dokter menjaga rahasia pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia. Ini berarti bahwa rahasia pasien dalam hukum sangat jelas.
Sedangkan sanksi hukum Menurut KUHP Pasal 322
a. Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
b. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut .
KUH Perdata 1365
“ Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Pengertian dasar Hukum Kedokteran ialah penerapan hukum dalam bidang kedokteran, artinya Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Ilmu Hukum yang asas atau kaidah yang digunakan adalah dari Ilmu Hukum. Semua penilaian pun dilakukan menggunakan kacamata hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga apabila hukum kedokteran tidak dapat dirumuskan secara khusus, tetap dapat dipakai ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku (misalnya hukum pidana, perdata dan sebagainya).
Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan mengganti kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar kiranya kalau mereka yang dirugikan tersebut mendapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya dirugikan, maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya. Hal tersebut terjadi sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus diterima dan tidak dapat dibalikkan kepada orang lain, sebab dengan terjadinya kesalahan yang menimbulkan korban, tidak terlepas dari kerugian yang ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib untuk memberikan sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukum yang berlaku menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajiban memberi ganti kerugian pada seorang penderita kerugian”.
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata. Disamping itu pasal 1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 / 1992 tentang kesehatan disebutkan juga perlindungan terhadap pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut:
a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah Bisakah Rahasia Kedokteran dibuka?. Bisa dengan berbagai alasan, sebagai dasar hukum
a. Karena Daya Paksa
Diatur dalam pasal 48 KUHP :
“Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh daya paksa,tidak dapat dipidana”
b. Karena menjalankan perintah UU:
Diatur dalam pasal 50 KUHP:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
c. Karena menjalankan perintah jabatan
Diatur dalam pasal 51 KUHP :
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana”
2. Kedudukan rahasia kedokteran dalam etika hukum
Dalam etika hukum seorang dokter harus menghormati hak pasien diantaranya dengan menjaga rahasia medik/kedokteran yang terdapat didalam pasien tersebut, hal ini sesuai dalam KODEKI pasal 12.


Disamping itu juga dalam pasal 1 KODEKI disebutkan bahwa setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter “Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter”. Jadi disini jelas apapun alasannya tanpa ada persetujuan pasien dan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas dokter/nakes tidak boleh membuka rahasia medik.
3. Kedudukan rahasia kedokteran dalam pandangan penulis
Meski kerahasian pasien merupakan hal yang mutlak dijaga oleh dokter, ada kondisi dokter/tenaga medis boleh membuka rahasia tersebut. Namun sebelum hal ini terjadi dokter/nakes harus benar-benar aware bahwa pelepasan informasi itu telah memenuhi syarat. Dia juga harus yakin rahasia ini tidak akan jatuh pada pihak yang salah, jika itu terjadi nakes/dokter harus siap berhadapan dengan ligitimasi hukum yang resikonya sangat besar.