Jumat, 30 Juli 2010

sekilas tentang donor organ

TRANPLANTASI ORGAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM

I. Latar Belakang
Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia, lebih spesifik jika dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHPidana. Misalnya mengenai transplantasi komersil, jika dalam KUHPidana termasuk kejahatan terhadap tubuh manusia, namun dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun 2009 dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dimasukkan dalam pasal tersendiri yang lebih jelas, sehingga akan terlihat dengan jelas batasan pertanggungjawaban pidana apabila dokter melakukan malpraktek.
Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan, ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu:
1. Ada tindakan faktor kelalaian;
2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis;
3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, disinggung mengenai keberadaan standar profesi medis sebagai salah satu faktor penting untuk dapat menentukan ada atau tidak adanya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam Pasal 21 Ayat (2) PP nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan bahwa standar profesi tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Standar profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah ini adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.
Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara klinis meliputi:
1. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada pertalian darah).
2. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis.
3. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan melakukan pemberian obat dan kontrol.
Tahapan klinis yang diuraikan diatas berlaku untuk donor hidup maupun donor jenazah (cadaver). Untuk dapat dilakukan eksplantasi organ tubuh baik terhadap donor hidup maupun donor jenazah diperlukan adanya persetujuan terlebih dahulu, namun hingga saat ini persetujuan yang telah diatur hanya mengenai persetujuan dari donor jenazah yang sudah dituangkan dalam PP Nomor 18 Tahun 1981. Indonesia sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam PP tersebut dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem berdasarkan izin.
Hal ini berarti tidak boleh dilakukan suatu pegambilan organ tubuh tanpa adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya atau adanya persetujuan dari keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor tidak pernah membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad yang ditinggalkan.
Jika selama hidupnya donor belum pernah memberikan persetujuan untuk dapat dilakukannya transplantasi terhadap salah satu organ tubuhnya maka, hak untuk memberikan persetujuan eksplantasi ada pada ahli warisnya (Pasal 10 jo Pasal 2 PP nomor 18 Tahun 1981).
Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya medis transplantasi organ tubuh pada khususnya, dapat berupa karena unsur kesengajaan maupun unsur kelalaian. Dalam tanggung jawab pidana haruslah dibuktikan adanya kesalahan professional yang dapat dibuktikan di sidang pengadilan melalui pendapat para ahli. Adapun kesalahan professional tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah:
1. Kelalaian (negligence);
2. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari tindakan kesewenangan dokter yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan adanya gangguan terhadap diri pasien. Selain itu, adanya persetujuan juga dapat meniadakan sifat melanggar hukum.
Berkenaan dengan hal persetujuan pasien, dalam hukum pidana persetujuan bukan merupakan dasar bagi adanya pengecualian terjadinya suatu peristiwa pidana, namun jika ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 89 KUHPidana yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Jika seorang dokter yang melakukan pembedahan (misalnya) terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pihak pasien, maka dokter tersebut dapat dituduh telah melakukan kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHPidana tersebut diatas. Seperti yang dikatakan oleh Simons, bahwa persetujuan untuk mengadakan operasi dengan tujuan pemulihan kesehatan akan meniadakan sifat pidana dari perbuatan tersebut.
Transplantasi organ tubuh sebagai upaya pelayanan kesehatan, yang dapat mengintervensi kehidupan seseorang baik secara jasmani maupun rohani, tidak hanya melibatkan pelayanan kesehatan, penerima pelayanan kesehatan, tetapi juga donor, baik itu donor hidup maupun donor mati.
Di dalam bidang hukum kesehatan sendiri belum jelas apa yang menjadi tolak ukur telah terjadinya tindakan malpraktek pada upaya medis transplantasi organ tubuh. Belum adanya satu pengertian yuridis yang menyatakan secara tegas mengenai tindakan malpraktek, menimbulkan heterogenisasi pengertian tentang apa itu yang dimaksud dengan malpraktek. Selama ini masyarakat yang menggugat dokter ke pengadilan, karena merasa tindakan dokter itu merugikan atau mencelakakan pasiennya sekedar menggunakan pasal – pasal KUHPidana.
Dalam tanggung jawab pidana perlu dibuktikan adanya kesalahan professional. Kesalahan professional di bidang medis (medical malpractice) menurut Veronica Komalawati adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis sesuai dengan standar profesi medis, atau tidak melakukan tindakan medis menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan pengalaman rata – rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi dimana tindakan medis itu dilakukan.
Mengenai kesalahan atau kealpaan (culpa) diatur dalam Pasal 359 KUHPidana yang menyebutkan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Berdasarkan ketentuan dari pasal diatas, bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan itu besifat melawan hukum;
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Adanya unsur kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut ketentuan dalam KUHPidana, kesalahan merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana agar dapat dipidananya seseorang. Tegasnya, unsur kesalahan merupakan unsur mutlak untuk penjatuhan pidana. Kesalahan dianggap ada, bilamana dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan atau menimbulkan keadaan – keadaan yang dilarang oleh hukum pidana dan yang dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, disamping harus memenuhi unsur – unsur suatu tindak pidana yang bersangkutan, perbuatan yang dilakukan harus bersifat melawan hukum, dan pada diri pelaku terdapat unsur kesalahan.
Selain itu untuk dapat dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur hukum formal dan hukum materiil. Menurut ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu telah memenuhi semua unsur – unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil yaitu apakah perbuatan tersebut bersifat melawan hukum secara sungguh – sungguh yang dilakukan dengan bertanggung jawab ataupun tidak.
Di dalam persidangan, Majelis hakim bukan hanya mempertimbangkan terpenuhinya unsur kesalahan dan sifat melawan hukum formal dan materiil, tetapi juga memperhatikan apakah terdapat suatu alasan pembenar dan pemaaf. Dengan demikian, apabila ada unsur – unsur tersebut yang tidak terpenuhi, dimana seorang dokter telah melakukan perawatan sesuai dengan pengetahuannya dan sesuai standar profesi medis serta tidak dapat dibuktikan telah terjadi kesalahan, kealpaan, kelalaian ataupun kesengajaan, maka hakim dapat memberikan putusan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar